Halaman

Sabtu, 24 September 2011

"Once Upon Time in Parkir Timur"

KH Maksum Jauhari


Cerita tentang seorang kiai bukan saja jago mengaji ayat Alquran tetapi juga sakti bak pendekar silat, sungguh, bukanlah isapan jempol atau semata kisah sinetron dan film. Bukti itu bisa dilihat saat kelompok musik Kantata Takwa Samsara menggelar konsernya di Parkir Timur, Senayan, Senin malam, 6 Juli 1998.

Primadona grup musik yang dimotori pengusaha Setiawan Djody ini adalah Iwan Fals, yang kerap melantunkan syair lagu yang penuh muatan kritik sosial. Buktinya, massa penonton yang beringas itu kemudian merangsek ke atas panggung dan menyeret-nyeret -- sebetulnya berebut menyalami dan memeluk -- Iwan, sehingga bekas pengamen jalanan itu pun kerepotan karena ternyata dia pun tak mampu meredam keberingasan massa itu. Apalagi massa lainnya kemudian juga melempar berbagai benda yang ada di sekitar mereka: botol plastik, kaleng minuman, dan lain-lain.

Di saat yang gawat itulah muncul KH Maksum Jauhari, kiai Nahdatul Ulama dari Kediri, Jawa Timur, yang sehari sebelumnya mengikuti istigotsah kubro bersama para nahdliyin di tempat yang sama. Dengan sekali sentakan tangannya, berbagai benda tadi jatuh ke tanah sebelum sempat menyentuh Iwan dan kawan-kawannya di panggung: Setiawan Djody, Sawung Jabo, Yockie Suryoprayogo, penyair Rendra, dan lain-lain. Bukan hanya itu, massa yang kain brutal itu pun terjengkang ke tanah bak dihempas sabetan topan. Dan, sungguh, semuanya bukanlah adegan film yang penuh trik macam yang diperankan Jet Li dalam berbagai sekuel Once Upon Time in China itu.

Sesungguhnya, kiai nyentrik -- karena suka berpakaian "semau gue" ini tidak berencana mengeluarkan aji-aji kesaktiannya. "Aku tahu, risikonya berat," kilah pengasuh pondok pesantren di Lirboyo, Kediri, ini dalam dialek Jawa Timur yang kental.

Hanya karena dia ngenes melihat Iwan yang ditarik-tarik massa hingga tidak berdaya itu, maka dengan terpaksa dia keluarkan ilmu tenaga dalamnya: tanpa menyentuh, orang-orang pun terjungkal. "Mana aku tega mendiamkan orang-orang mengusik Iwan di depan mataku sendiri. Padahal aku tahu pasti, Iwan berusaha menenangkan penggemarnya. Eh, mereka malah nekat, nggak peduli dan terus memaksa Iwan," kisahnya.

Sejak awal kerusuhan sebisa mungkin Gus Maksum mencoba menenangkan massa. Dibujuknya massa agar ikut melafalkan shalawat. Karena bujukannya tidak digubris, dan massa terus merangsek, Pak Kiai berteriak lantang, "Silakan maju, kalau berani! Aku juga wong Arek yang bisa memecahkan kepala kalian!"

Ucapan itu -- mungkin tak terdengar -- dianggap angin lewat. Massa tambah beringas dan terkesan balik menantang. Maka, ya… begitu itulah, tenaga dalamlah yang lantas bicara.

Menurut Pak Kiai yang berambut gondrong ini, sebetulnya dia pantang mengeluarkan ilmunya. Katanya, itu sama saja dengan melanggar kesepakatannya dengan gurunya. "Teapi karena waktunya terdesak, masa aku pasrah. Ya, itung-itung bela diri," ucapnya sambil tertawa dan mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Dia mengaku, esoknya badannya menjadi pegal. "Mungkin aku juga kualat, karena seharusnya tak perlu mengeluarkan jurus jitu," sambungnya terkekeh.

Bukan sekarang ini saja dia mengeluarkan rapalannnya. Dua tahun sebelumnya, saat pesantrennya disatroni orang yang mencurigakan, orang yang menyatroni itu itu pun terpental karena sabetan tangan KH Maksum.

Eh, omong-omong, siapa sih guru Pak Kiai? Awalnya, dia menggeleng, sebelum kemudian berbisik perlahan, "Guruku Gusti Allah."

In memoriam of KH Maksum Jauhari (Gus Maksum)

Sumber : http://www.tempo.co.id/ang/min/03/19/pokok1.htm