Halaman

Sabtu, 08 Oktober 2011

Catatan Prof. Jeffrey Lang, seorang mualaf Amerika Serikat

Prof. Jeffrey Lang, seorang mualaf Amerika Serikat

Seperti mualaf lainnya, saya tidak akan pernah bisa melupakan syahadat pertama saya. Kesaksian ini merupakan momen paling sulit tapi paling membebaskan dan kuat dalam hidup saya. Secara berangsur-angsur, saya menjadi lebih memahami banyak implikasinya, dan secara khusus saya mulai mengerti bahwa kesaksian itu memaklumkan bukan hanya ke-Esa-an Allah, melainkan juga kesatuan dan persamaan umat manusia. Tentu saja, temuan saya tentang hal ini sama sekali tidak orisinal. Prinsip egalitarian ini adalah tema yang sangat menonjol dalam ajaran-ajaran Islam sehingga tidak mungkin dihilangkan. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa setiap Muslim sangat siap untuk mengartikulasikannya. Akan tetapi, prinsip ini dapat diamati dengan jelas dalam tradisi dan interaksi keagamaan masyarakat Muslim. Karena itu, sama sekali tidak mengejutkan bila ajaran ini menjadi salah satu hal yang pertama kali menarik Malcom X dalam perjalanan ibadah hajinya ke Mekah. Ia menulis :

“Selama sepekan terakhir, saya betul-betul tidak bisa berucap sepatah-katapun dan terpesona oleh keanggunan yang ditampakkan di sekeliling saya oleh manusia dari seluruh suku bangsa -- Anda boleh saja terkejut kata-kata ini keluar dari saya. Tapi, dalam perjalanan haji ini, apa yang telah saya lihat dan alami memaksa saya untuk menata ulang sebagian besar pola pemikiran yang sebelumnya saya pegang, dan membuang beberapa konklusi sebelumnya – Barangkali jika orang-orang kulit putih Amerika bisa menerima ke-Esa-an Allah, mungkin juga mereka bisa menerima dalam kenyataannya kesatuan umat manusia – dan berhenti mengukur, menghalangi dan mencelakakan orang lain karena ‘perbedaan’ warna kulit mereka – Setiap jam di tanah suci memungkinkan saya memperoleh pengetahuan spiritual yang semakin besar tentang apa yang terjadi di Amerika antara orang-orang kulit hitam dan orang-orang kulit putih.”

Disini saya tidak mengatakan bahwa Islam menghapuskan prasangka-prasangka suku dan warna kulit. Klaim diatas lebih mengesankan bahwa Islam menghapuskan kejahatan. Sebaliknya saya ingin menegaskan bahwa Islam tidak mentoleransi prasangka-prasangka semacam itu dan bahwa ketika kaum Muslim mencampakkannya, mereka sadar betul bahwa mereka melanggar ajaran fundamental dalam agama mereka dan melakukan sebuah kesalahan yang serius. Dari semua agama besar di dunia, saya yakin bahwa tidak ada agama yang lebih berhasil dalam memerangi prasangka ras selain Islam. Saya telah melihat pertunjukan kekuatan Islam dalam hal ini, yang sangat bersifat pribadi dan membangkitkan semangat, beberapa minggu setelah menjadi seorang Muslim.

“Waktu itu ada pengajian yang diorganisasi oleh para mahasiswa Muslim University of San Fransisco, pembicara malam ini adalah Abdul Aleem Musa, yang waktu itu adalah imam mesjid an-Nur di Oakland, California. Ia menuturkan perjalanannya memeluk Islam, yang dimulai saat ia bergabung dengan gerakan Nation of Islam pada tahun enam puluhan dan kemudian beralih ke Islam otentik pada tahun tujuh puluhan. Orang-orang Muslim Amerika keturunan Afrika Oakland yang menyertainya menunjukkan reaksi mereka atas ceramahnya bahwa jalan mereka menuju Islam sangat mirip dengan jalan Aleem.

Secara fisik, Abdul Aleem adalah seorang yang sangat mengesankan. Ia kelihatan seolah-olah mampu bermain dengan ketat hingga akhir babak dalam permainan ‘San Fransisco Forty-Niners’. Ia sangat pandai dan cerdas, dan tentu saja bukan tipe orang yang bisa diremehkan. Dalam perjalanan menuju pengajian itu beberapa mahasiswa memberitahu saya bahwa Abdul Aleem dulunya adalah anggota kelompok Black Panthers dan mantan narapidana. Saya biasanya mencurigai kabar angin seperti ini. Akan tetapi, dari pembicaraannya, saya merasa bahwa, paling tidak, dia memiliki masa lalu yang kelabu. Sekalipun demikian, kebijaksanaan kata-katanya dan ketenangan yang kini diperlihatkannya membuat saya merasa bahwa ia telah menemukan kedamaian batin melalui keimanannya.

Ketika saya mendengar Abdul Aleem, saya teringat masa-masa remaja saya dan brutalitas perang ras yang mengerikan antara lingkungan tetangga saya dengan para pemuda kulit hitam seperti dirinya, dari daerah kumuh yang berdekatan. Saya membayangkan betapa berbahayanya ia waktu itu sebagai musuh – tipe musuh yang setiap orang berusaha sebaik mungkin tidak melihatnya ketika ia memasuki wilayah anda. Serentak saya merasa terinspirasi dan terancam, tersentuh tetapi juga bingung. Seluruh refleks dan rasa takut masa lalu yang saya pikir sudah lama saya tinggalkan di Bridgeport, Connecticut, kini kembali lagi datang kepada saya.

Pertanyaan pertama yang diajukan kepada Abdul Aleem ketika ia telah menyelesaikan ceramahnya berasal dari seorang mahasiswa Arab :”Apakah anda merasa bahwa Islam telah mengubah diri anda..?? Apakah Islam benar-benar telah mengubah hidup anda..?”

Pertanyaan itu mungkin biasa-biasa saja, tapi rupanya menyinggung masa lalunya yang kelabu. Paling tidak, inilah penafsiran saya, dan tampaknya demikian juga perasaan Abdul Aleem.

“Anda tidak tahu, berapa kali saya sudah ditanya tentang soal yang sama,” ia menghela nafas, sambil menggelengkan kepalanya hampir tidak percaya. “Orang tidak mengira bahwa hal itu benar-benar bisa terjadi, bahwasanya anda bisa merubah hidup anda”.

Ia berbicara pelan-pelan, mengukur kata-katanya, berusaha keras menguasai kebanggaannya yang terluka. Kemudian, dengan nada rendah yang memperlihatkan rasa frustasi memuncak ia berkata :”Orang sungguh tidak percaya dengan kekuatan Islam”.

Hadirin menjadi tegang dan menahan nafas, mengantisipasi luapan emosi yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Mata Abdul Aleem menyelidiki ruangan, seolah-olah ia sedang mencari-cari orang yang mungkin bisa memahami atau membuktikan pendangannya. Tiba-tiba ia menatap Grant, seorang mualaf kulit putih Amerika lain yang duduk disebelah kiri saya. Kejadian berikutnya yang saya tahu adalah: ia menunjuk kami berdua.

Ia berseru, hampir berteriak, “Fakta bahwa ada orang-orang kulit putih seperti mereka ini, duduk disini dengan orang kulit hitam seperti kami, sebagai saudara – SAUDARA…!! – ketika sepuluh tahun lalu kami saling berbunuh-bunuhan di jalanan, menunjukkan kepada anda sekalian betapa Islam dapat mengubah hidup..!!”.

Seakan-akan dia dapat membaca pikiran saya, Grant dan saya adalah generasi yang sama dengan Abdul Aleem, dan raut wajah Grant mengatakan kepada saya bahwa ia dapat mengerti apa yang baru saja diucapkan Abdul Aleem. Setelah acara itu selesai, Abdul Aleem berjalan menghampiri kami berdua dan menyalami kami dengan tersenyum ramah dan dengan apa yang saya katakan ‘pelukan rangkap tiga Islam’. Itulah awal dari suatu hubungan yang amat penting bagi saya, Abdul Aleem menjadi sahabat dekat dan mentor saya, serta membantu saya menangani banyak jebakan dan kendala yang bisa mengancam keikhlasan seorang pendatang baru dalam Islam.

Ketika saya berjumpa dengan Abdul Aleem, saya baru saja memeluk Islam dan masih memerlukan banyak waktu untuk mendalami ajaran-ajaran Islam. Akan tetapi, pada malam itu, saya banyak belajar tentang egalitarianisme Islam. Dan saya belajar lebih banyak dari Abdul Aleem dalam bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya”.

Bisakah kaum Muslim menjadi fanatik dan penuh prasangka..?? tentu saja mereka bisa, dan sebagian besar dari mereka menjadi fanatik dalam waktu dan keadaan yang berbeda. Manusia menggeneralisasi dan berprasangka berdasarkan pengalamannya. Secara umum, kelangsungan hidup kita bergantung padanya. Kadang-kadang kita menyakiti orang lain dan diri kita sendiri ketika kita menyalah-gunakan kemampuan intelektual kita, tetapi kita mampu dan harus meluruskan dan belajar dari kesalahan-kesalahan kita. Berkali-kali saya menyaksikan kekuatan koreksi syahadat atas kaum Muslim. Saya telah melihat bahwa perbedaan kultural, ekonomi dan ras yang mencerai-beraikan mereka dan syahadat menyatukan mereka kembali sebagai saudara dan saudari dalam keimanan.

Dari buku : Bahkan Malaikatpun Bertanya. Membangun Sikap ber-Islam yang Kritis
                     Jeffrey Lang, Serambi, thn 1997.